Ketakutan akan Teknologi: Sendirian Secara Bersama (Bag.1)

Female Technophobe

Lanjutan dari tulisan sebelumnya mengenai Ketakutan Teknologi: Bagian Pengantar.

Dalam salah satu wawancara, J.G. Ballard berkomentar bahwa: akan ada saatnya dalam waktu dekat, bila benar-benar mungkin, untuk mengeksplorasi secara ekstensif dan mendalam tentang psikopatologi mengenai kehidupan seseorang tanpa rasa takut akan penghukuman moral. Meskipun kita telah melihat keruntuhan banyak tabu dalam dekade terakhir ini, masih ada aspek eksistensi yang tidak dianggap sah untuk dijelajahi atau dialami terutama karena efek buruk mereka pada orang lain. Sekarang saya tidak berbicara tentang tindakan kriminal, tapi apa yang akan saya bicarakan sebagai psikopat secara tradisional. Banyak, mungkin sebagian besar, ini perlu diungkapkan dalam bentuk konkret, dan ekspresinya saat ini membuat orang menjadi bermasalah. Orang bisa memikirkan sejuta contoh, tapi jika kecenderungan kamu mendorong kamu ke arah perempuan tua yang berhubungan seksual dengan dianiaya oleh kamu, maka, cukup benar, kamu pasti akan menemukan diri kamu berada di istana hakim setempat jika kamu menyerah pada dorongan itu. Dan alasannya adalah kamu mengganggu ruang hidup orang lain.

Tapi berbeda halnya dengan potensi multimedia dari studio TV di dalam komputer kamu, di mana simulasi tanpa batas dapat dimainkan dengan gaya yang benar-benar meyakinkan, orang akan dapat mengeksplorasi, dengan cara yang sepenuhnya tidak membahayakan, simulasi setiap jenis impuls impuls yang begitu menyimpang di mata masyarakat sehingga mereka sepertinya, mengatakan pada orang tua kita, bahwa mereka benar-benar merugi, usang dan kuno.[1]

Di Trilogi terbaru yang dutulis oleh J.G Ballard, sebuah seri novel, yakni karyanya yang berjudul Cocaine Nights, Millenia People, dan Super Cannes dia mengeksplorasi rasa psikopatologi kesepian ini dan bagaimana ia menyentuh teknologi, seks, dan kematian. Dalam masing-masing novel ini, kita melihat bahwa simulasi ini mulai diaktifkan, Ballard telah memberlakukannya di halaman-halaman karya ini, sebuah kartografi psikopatologi baru yang timbul dari budaya yang mempengaruhi manusia, yang hidupnya harus dihidupi oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Pada bentuk ekstrim seks dan kekerasan. Di masa lampau, dekadensi yang ekstrem ini selalu disesuaikan dengan penyimpangan teknologi dan nihilisme, psikopatologi dan terobosan sensual tentang kematian dan hasrat selalu menemukan diri mereka dekat dengan kelas-kelas yang memiliki uang dan kehidupan mewah, selanjutnya mereka diketahui secara psikologis telah bosan dan akhirnya bunuh diri. Tapi di masa kita, psikopat sejati adalah seseorang yang selalu dapat menyembunyikan emosinya karena tekanan luar atau dalam dirinya sehingga ia berperilaku tertutup, tidak memiliki semua emosi di depan manusia lainnya, hingga sewaktu-waktu tekanan itu membuat ia dapat keluar secara berbeda dengan memanggil orang lain seperti seorang tuan dari boneka dalam karnaval cermin gelap, dalam bentuk over-dominasi dan determinasi dari dirinya kepada orang lain. Kehidupan masyarakat begitu terkuras, sehingga eksis di dunia secara penuh (24 Jam/7 Hari) sehingga mereka yang bekerja secara terus-menerus dapat menemukan pengetahuan baru, sebuah pengetahuan diri yang mengekspos posisi dirinya sendiri yang berada dalam pemerkosaan massal, lalu munculah subjek psikopat. ini merupakan efek yang muncul dari dalam lingkaran ‘tertutup’ keinginan kapitalis soal efisiensi kerja dan nilai lebih.

Remy de Gourmont pernah mengartikan dekadensi dalam arti aslinya sebagai “gagasan kematian alami,” tapi pada tahun 1885 di bawah naungan Stephen Mallarmé dan kelompok sastra di sekelilingnya, gagasan tentang dekadensi telah diasimilasi dengan kebalikannya – Gagasan tentang inovasi.[2]

Pengaruh dekadensi pada banyak cerita dan novel-novel tulisan Ballard sendiri terlihat. Seperti yang dicatat oleh seorang pewawancara:

[Pewawancara] KRICHBAUM / ZONDERGELD:
Sampai sekarang kita masih belum membahas cerita Sands Vermilion anda. Sepertinya ada pengaruh literatur dekaden ya dalam tulisan tersebut? tentang si fin de siècle (tokoh dalam cerita).

BALLARD:
Kamu tahu, Vermilion Sands sesuai dengan visi saya tentang masa depan. Ini tidak akan seperti novel 1984 (George Orwell). Coba perhatikan, jika seseorang pergi ke pantai Mediterania di musim panas, kita akan melihat masa depan di sana. Setengah dari Eropa menemukan dirinya tengah berkunjung di kota yang membentang dari Gibraltar ke Athena itu. Sebuah kota yang panjangnya tiga ribu mil dan lebar seratus meter. Dan itu, menurut pendapat saya adalah masa depan.

Ini adalah dunia yang padat, dunia di mana kota sebagai megacity telah membuat ekosistem natural ‘buatan’ yang dekaden, di mana alam telah lenyap ke dunia buatan manusia yang inovatif.

Dalam wawancara lain, lawan bicaranya menyamakan dekadensi dengan “kesenangan untuk bersalah“. Ballard lalu menanggapi, dengan mengatakan, “Gagasan kesenangan untuk bersalah ini juga tidak diabaikan, yakni gagasan untuk mengejar obsesi, ke suatu titik di mana ia disatukan dan dibenarkan hanya dengan pertimbangan estetika, di luar batasan moral.” Sebagian jengkal kehidupan terjadi di zona itu. “Rasa hidup di luar kebaikan dan kejahatan ini, hidup dalam ranah inovasi estetika di mana realitas kontemporer teknologi kita hari ini telah menguasai pesona dan kesukaan kita (manusia) atas sebuah simulasi raksasa kehidupan. Gerakan ini ada di dalam jaringan sosial di genggaman teknologi kita, di mana tidak terkontrolnya interaksi manusia di dalam facebook, twitter dan lain-lain. Sebaliknya gerakan tak terkontrol itu, tidak dapat dibatasi lagi oleh hubungan sosial yang normal (secara langsung-dapat bersentuhan) dan sebaliknya memungkinkan banyak orang yang tidak dikenal untuk mengeksplorasi “kesenangan untuk bersalah”, yang pada saat itu juga kita telah membangunkan gangguan psikopatologis tertentu, dengan pengaruh mesinis yang merupakan aparatur awal dari tekno-utopian kita. Kota sendiri telah menjadi mesin yang menciptakan, yang menawarkan hegemoni buatannya yang terus berlanjut tentang obsesi dan kekerasan. Ada hantu di dalam cangkang waktu yang mengambang di kehidupan manusia, bukan pada artefak-artefak kuno yang hidup, melainkan mainan robot-gadget dan teknologi lainnya, di tempat kita hidup sehari-harinya.

Sebagai gagasan kebebasan, baik kebebasan ala Baudrillard yang pesimistis ataupun kebebasan ala Ballard yang optimis. Ballard berbicara tentang gagasan Baudrillard tentang Amerika sebagai simulasi atas dirinya sendiri. Dia mengatakan,

“Saya adalah seorang liberal yang kuat (dalam batasan hukum tentunya) dan percaya untuk mengeksplorasi semua kemungkinan yang terbuka bagi kita. Menurut saya logika abad ke-20 yang lalu, dan yang pasti sampai dengan abad ke-21, masyarakat kita sangat dipengaruhi oleh sistem informasi dan komunikasi, bahwa kebebasan yang terus-menerus tidak dapat dielakkan lagi. Seperti yang telah dikatakan orang, begitu mereka menemukan mesin Xerox, totalitarianisme – tentu saja, totalitarianisme teknologi – telah ditakdirkan.”

Perasaan bahwa replikasi, mimesis, terhadap totalitarianisme, yang dalam artiannya adalah totalitas palsu/tiruan, namun merupakan upaya yang memang sudah sejalan jika manusia memilih masuk dalam labirin kebebasan ala teknologi, di mana inovasi teknologi dan pemodelan realitas lewat internet memungkinkan setiap orang memiliki neraka pribadi mereka sendiri.

 

Catatan Kaki

[1] Ballard, J.G; Sellars, Simon; O’Hara, Dan. Extreme Metaphors.

[2] Gourmont, Remy de. Decadence and Other Essays on the Culture of Ideas.

Leave a comment