Apakah Marx Keliru tentang Uang?

John Mayhard Keynes pernah menulis: “Tidak ada cara yang lebih halus, tidak ada cara yang lebih pasti untuk menjungkirbalikkan pondasi suatu masyarakat yang ada, selain dengan merusak nilai mata uangnya”.[1] Teori ekonomi Keynes sendiri telah memberikan pernyataannya kebenaran sampai setidaknya hari ini. Dimana pernyataan ini mampu digabungkan dengan pernyataan lainnya supaya lebih bermanfaat bahwa: “cara masyarakat membuat perang mencerminkan cara masyarakat itu membuat kekayaan”.[2] Kedua tesis ini mengkristal dalam kepala saya saat akan membahas atau membicarakan konsep perang mata uang yang memiliki implikasi pertama secara historis, kemudian dikontekstualisasikan dalam wacana kontemporer tentang politik internasional, dan bagaimana hubungan diantara keduanya dapat dipersoalkan dalam suatu diskusi tentang keamanan internasional.

Apakah Marx Keliru tentang Uang_

Jauh sebelum tumbangnya perjanjian Bretton Woods di akhir abad ke-20, bahkan sebelum perjanjian itu sendiri hadir di tengah-tengah masyarakat dunia, nilai uang tentu saja dipatok melalui harga emas, yang disebut sebagai standar dari uang tersebut – uang berstandar emas. Hal ini menyebabkan fenomena yang kurang lebih mirip dengan apa yang disebut ‘Hukum Gresham’, hukum yang berlaku dalam masyarakat yang memakai emas atau perak sebagai syarat pertukaran – ini juga disebut sebagai masyarakat yang memakai bimetalisme (dua jenis metal) untuk memberikan nilai pada mata uangnya. Dimana lebih lanjut, ketika harga emas lebih tinggi dari nilai uang koin di suatu masyarakat, maka orang-orang akan melebur-lelehkan uang koinnya yang terbuat dari emas atau perak tersebut, lalu menjual emas yang merupakan hasil peleburan dari mata uang koin mereka sebelumnya. Lebih jelasnya, mari kita lihat seperti apa yang dikemukakan Lyotard mengenai gambaran atas perdagangan internasional berstruktur bimetalisme di zamannya. Saat ia akhirnya melemparkan komentar ini:

“Jumlah uang logam yang beredar di seluruh Eropa adalah konstan, dan emas telah menjadi standar kekayaan itu sendiri, agar raja semakin kaya ia harus merebut emas-emas ini secara maksimum. Ini dilakukan untuk membuat negara lainnya mati, baik dalam jangka waktu yang panjang ataupun pendek…”[3]

Namun, ini bukan permasalahan perang mata uang semata, ini adalah ‘perang kekayaan’ –  perbedaannya akan segera dijelaskan. Pada tahun 1933, dunia mengalami depresi besar ekonomi, Amerika Serikat akhirnya menanggalkan standar emas pada mata uangnya, dan segera melakukan devaluasi 40 persen, yang saat itu mendorong ekonomi AS dan juga seluruh dunia pulih.[4] Karena tidak memiliki angka ‘universal’ dari sebuah standar nilai yang berlaku, mata uang dunia kemudian mendapatkan nilainya relatif satu sama lain, menciptakan suasana kompetitif antar mata uang yang sama sekali membuat mereka berbeda satu dengan lainnya. Semakin rendah nilai mata uang dari suatu negara, semakin banyak bisnis di negara lain yang akan diberikan insentif untuk mengimpor produk mereka, dan fakta ini secara eksplisit diperhitungkan dalam kebijakan moneter. Gambaran ini semakin rumit ketika masuknya pertimbangan bagaimana dollar AS berlaku sebagai mata uang cadangan dunia – yaitu, mata uang dasar yang digunakan sebagai standar mata uang dunia dan merupakan cara bagi negara tersebut (Amerika Serikat) untuk memungkinkan surplus neraca berjalan (yaitu kondisi dimana negara-negara yang mengimpor lebih tinggi nilainya daripada nilai ekspor) atau untuk secara sengaja mengubah nilai tukar (terutama dalam kasus dimana mata uang yang dipatok ke mata uang lain, seperti yuan milik Tiongkok terhadap dollar yang memiliki jaringan mata uang dengan ‘negara-negara satelitnya’. Seperti yang akan saya tunjukkan dijelaskan dalam satu artikel: “efek devaluasi mata uang non-cadangan…secara implisit adalah cara untuk memberikan tekanan beli terhadap dollar AS, karena ia harus membayar lebih banyak dari sebelumnya” dan sebaliknya, “setiap kali FED (Bank Sentral AS) membuat rendah dolar AS-nya melalui devaluasi, ia memaksa mata uang euro dan yang lainnya memiliki nilai yang lebih tinggi dari sebelumnya, sehingga membuat rugi ekspor negara-negara tersebut.”[5][6]

Perang mata uang dalam arti kata lain dapat disingkat dengan ungkapan “berlomba ke dasar!” dimana masing-masing negara berlomba untuk mendevaluasi mata uangnya, untuk mendorong negara tetangganya bertindak sebagai “pengemis” yang terbukti sangat berbahaya pada tahun 1930-an.[7] Ini adalah contoh yang tepat dari jenis teori games John Nash yang disebut sebagai Ekuilibrum Nash (Nash Equilibrum) dimana setiap negara memiliki dorongan untuk mendevaluasi mata uangnya sendiri agar diikuti dengan negara-negara lainnya, yang selanjutnya, apabila ini berlaku secara massal akan menyebabkan bencana besar bagi perekonomian dunia.

Dengan demikian, masalah ini bisa dibingkai dalam kerangka realis di kajian hubungan internasional, meskipun dalam beberapa kualifikasi. Khususnya seperti lembaga WTO (World Trade Organization) yang dikatakan dapat “bertindak seperti pemutus arus” dan akan menawarkan “mekanisme penyelesaian konflik untuk mencegah perselisihan perdagangan yang akan mengarah pada … perlombaan ke bawah –  seperti yang dibicarakan di atas”.[8] Demikian juga, rezim perdagangan seperti ini adalah sistem yang terdiri dari relasi serangkaian rantai pasokan yang dianggap memiliki pengaruh sia-sia, namun signifikan terhadap konflik politik; Tom Friedman misalnya, menghubungkan, tidak adanya perang antara India dan Pakistan, karena adanya hubungan ekonomi saling ketergantungan seperti ini.[9] Meskipun secara logis untuk dikatakan bahwa perang mata uang sering menyebabkan perang dagang, dan kemudian itu adalah satu langkah sebelum ‘perang persenjataan’ – pola yang sejarahnya, pada kenyataannya, kembali ke zaman Romawi – pendapat saya soal ini masih bisa diperdebatkan karena saya pun membutuhkan pendiskusian soal ini.[10]

Namun pertanyaannya tetaplah, apa yang bisa diperoleh dengan menulis tentang perang mata uang ini? Dalam sebuah wawancara dengan Kitco News, Jim Rackards berpendapat menyoal uang Tiongkok, dimana Yuan Tiongkok juga adalah mata uang yang memakai standar dollar AS untuk berjalan, sehingga pelonggaran kuantitatif oleh Federal Reserve AS (khususnya di tahun 2011) secara efektif mengekspor inflasi ke China, yang kemudian harus terpaksa untuk meningkatkan nilai mata uangnya dalam ketakutan mengenai konsekuensi ketidakstabilan politik inflasi.[11][12][13] Dia juga berpendapat bahwa salah satu alasan utama Amerika Serikat mencoba untuk mendevaluasi mata uangnya sendiri melalui “pelonggaran kuantitatif” adalah untuk “mengimpor inflasi dalam bentuk harga impor yang lebih tinggi.[14] ” Yang terakhir ini diinginkan karena 1) Devaluasi yang dilakukan AS menciptakan kondisi deflasi yang terjadi pada negara-negara lainnya dan membuat nilai utang mereka meningkat, dimana itu akan mengarah pada kegagalan membayar hutang, dan 2) karena, seperti yang ditekankan oleh para ekonom Austria, inflasi adalah pajak tersembunyi, sedangkan deflasi adalah upaya meloloskan diri dari pajak.[15]

Jadi jelaslah keliru untuk membatasi politik skala regional dengan politik skala global. Dimana sudah diilustrasikan di atas, memandangan keuangan beserta peperangannya hari ini dapat dilihat sebagai bentuk interaksi kedaulatan, dengan gagasan seperti hegemoni Amerika Serikat (AS) yang dikongkritkan melalui status dollar sebagai mata uang cadangan dunia. Ini juga akhirnya memaksa kita untuk memperhitungkan manuver dollar AS melalui logika keterhubungan diantara wilayah Utara-Selatan, dimana masing-masing dibatasi oleh wilayah yang memiliki defisit perdagangan, dengan wilayah yang memiliki surplus perdagangan, sebagaimana ini diilustrasikan dalam kutipan berikut:[16]

“Biasanya bank sentral menginginkan nilai eksternal dari mata uang mereka bergerak ke arah yang sama dengan arah kebijakan moneter. Mengingat penurunan ekonomi yang akan terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi, tidak mengherankan bahwa kebijakan moneter telah disinkronkan, dan bahwa sebagian besar pejabat (di negara-negara maju) menginginkan mata uang yang lebih lemah. Ini akan berselisih dengan mata uang negara berkembang yang tidak mau menerima apresiasi mata uang yang besar…”[17]

Pada catatan yang berbeda, penjelasan di atas memberikan penjelasan yang lebih kongkrit atas teori Mary Kaldor mengenai proliferasi sebuah bentuk ‘perang baru’ di negara-negara yang basis pajaknya telah terkikis karena ‘globalisasi’. Jika benar bahwa inflasi berarti tindakan tersembunyi untuk memungut pajak tambahan, dan jika memang benar bahwa devaluasi mata uang di negara-negara maju akan menyebabkan deflasi dalam mata uang negara-negara berkembang, maka ini sampai batas tertentu mendukung teori Mary Kaldor. Dengan begitu, negara manapun akan mempertimbangkan ketidakamanan sosial dan ekonomi yang dapat tercipta dari gangguan perang mata uang ini, dimana dengan sendirinya merupakan pembenaran dari suatu perang baru: perang intervensi.[18]

Dikatakan bahwa “Dalam Globalisasi, keamanan negara tidak lagi menjadi pusat perhatian, karena negara telah kehilangan kemampuan untuk secara efektif memberikan jaminan terhadap kemungkinan itu”.[19] Orang hanya perlu menerima pernyataan ini dalam pengertian yang lebih harfiah daripada yang dimaksudkan untuk dapat menyadari mengenai peran politik keuangan yang muncul – dengan cara yang secara fundamental menentang asumsi neo-realis dalam teori HI (Hubungan Internasional) yang berpusat pada negara.[20] Selain itu, perspektif keuangan secara politis memungkinkan dimensi baru dalam debat politik – yang berfokus pada kebenaran teori ekonomi (yang bertentangan dengan pandangan berdasarkan nilai-nilai etika, atau hermeneutika yang lebih suka dijalankan secara sewenang-wenang), sebagaimana diilustrasikan dalam kasus Cina, yang telah menerabas atau melanggar hampir semua aturan ekonomi dari Barat, dimana China justru bertemu dengan kesuksesan superlatif dalam melakukannya. Yang paling penting adalah penekanannya pada memandang dunia politik sebagai suatu hal yang bersifat holistik.

Perjanjian Bretton Woods dan Upaya Stabilisasi Pasca PD II

Selanjutnya…

Konferensi Bretton Woods adalah konferensi yang diprakarsai Presiden Frankiln Delano Roosevelt untuk bersama-sama mengatasi segala kesulitan akibat Perang Dunia II dalam bentuk kerja sama internasional di bidang ekonomi. Konferensi ini diselenggarakan di Bretton Woods, sebuah hotel di New Hampshire pada Juli 1944. Dihadiri oleh 44 negara sekutu. Dikenal pula sebagai United Nations Monetary and Financial Conference. Konferensi tersebut menghasilkan pasal-pasal persetujuan bersama untuk membentuk badan yang dianggap sebagai lembaga kembar, yaitu International Monetary Fund (IMF) dan International Bank for Reconstruction and Development.[21]

Persetujuan-persetujuan dalam Konferensi Bretton Woods ini memberikan enam implikasi terhadap sistem moneter internasional sampai perjanjian ini runtuh di tahun 1971, yaitu:[22]

  1. Pasal-Pasal Persetujuan IMF melarang penggunaan emas sebagai uang. Hal itu dilakukan dengan melarang segala kaitan antara emas dengan berbagai macam mata uang selain daripada dengan dolar AS seperti yang tercantum dalam pasal 4, Bagian 2 (b) Pasal-Pasal Persetujuan IMF.
  2. Karena 70% stok emas dunia paska Perang Dunia II berada di tangan Amerika Serikat (AS), maka AS berani menentukan bahwa dolar AS sebagai mata uang internasional yang dikaitkan dengan emas. Hanya dolar AS yang dapat ditukarkan dengan emas dengan kurs 1 ounce (=28,35 gram) emas seharga 35 dolar AS.
  3. Karena AS merupakan satu-satunya negara yang mengaitkan kembali mata uangnya dengan emas maka mereka dapat mencetak uang terus menerus tanpa batas.
  4. AS menikmati pendapatan yang besar dari percetakan mata uang dolar dengan hanya mengandalkan seigniorage, yaitu selisih biaya cetak dengan nilai nominal uang. AS kemudian mendapatkan keuntungan begitu banyak akan komoditi dari negara-negara yang menggunakan dolar dalam transaksinya.
  5. Seluruh negara anggota IMF diwajibkan untuk menaruh 25% cadangan emas miliknya di IMF dan melaporkan setiap penjualan dan pembelian emas yang mereka lakukan, seperti yang tercantum pada pasal XIII, Bagian 2 (b) dan pasal VIII, Bagian 5 (a, i-iv) Pasal-Pasal Persetujuan IMF.
  6. Hanya pemerintah, melalui bank sentral, Kementerian keuangan atau badan fiskal sejenis, yang dapat menukar dolar AS dengan emas, seperti yang tercantum pada pasal V, bagian 1 dan Pasal XIV, Bagian 2 (a) Pasal-Pasal Persetujuan IMF.

Sistem Bretton Woods bubar pada tahun 1976 setelah beberapa negara di Eropa mengalami kehancuran ekonomi sehingga tidak lagi bisa menjadi partner perdagangan Amerika Serikat, disamping itu resesi ekonomi dunia yang berlangsung besar-besaran pada periode waktu itu telah mendorong negara-negara di dunia untuk mengedepankan kepentingan nasionalnya masing-masing. Itu karena pencetakan mata uang Dollar AS melebihi kapasitas emas yang dimilikinya. Akibatnya, terjadi krisis kepercayaan masyarakat dunia terhadap dolar AS. Hal tersebut ditandai dengan peristiwa penukaran dollar secara besar-besaran oleh negara-negara Eropa. Adalah Prancis, pada masa pemerintahan Charles de Gaule, negara yang pertama kali menentang hegemoni dollar dengan menukaran sejumlah 150 juta dollar AS dengan emas. Tindakan Prancis ini kemudian diikuti oleh Spanyol yang menarik sejumlah 60 juta dollar AS dengan emas. Praktis, cadangan emas di Fort Knox berkurang secara drastis. Ujungnya, secara sepihak, Amerika membatalkan Bretton Woods System melalui Dekret Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971, yang isinya antara lain, Dollar AS tidak lagi dijamin dengan emas. ‘Istimewanya’, dollar tetap menjadi mata uang internasional untuk cadangan devisa negara-negara di dunia. Pada titik ini, berlakulah sistem baru yang disebut dengan floating exchange rate.

PERTANYAAN: Apakah Marx Keliru tentang Uang?

Setelah penjabaran di tulisan atas mengenai jatuh bangun lepasnya uang dari standar emas, saya akan mengajukan pertanyaan untuk membenturkan teori Marx tepat di bagian kepala. Ini dilakukan bukan karena kebencian atau ketidaksetujuan saya dengan Marx mengenai konsep uang, namun hal ini dilakukan sebagai awal pengujian teori Marx/teori tenaga kerja mengenai persoalan uang. Saya akan bertanya di awal: Apakah akhir dari Perjanjian Bretton Woods dan standar uang menggunakan emas membatalkan argumentasi Marx tentang uang? Emas di tulisan ini saya katakan tentu bukan hanya dalam artian sempit sebagai barang berwarna kuning mengkilap yang dapat dijadikan komoditi dalam jual-beli perhiasan, tentu saja yang saya maksud adalah satuan komoditas apapun yang berperan dalam penentuan nilai uang.

Jika pembaca menuntut saya membuat pertanyaan yang lebih berbobot dan kompleks, saya tidak bisa, namun mungkin saja George Caffentzis dapat memenuhi tuntutan semacam itu. Saya akan mengambil ini dari tulisan beliau yang kira-kira akan berbunyi seperti ini:

“Sebelumnya, kita mengetahui bahwa Marx dengan jelas berpendapat mengenai diperlukannya emas (atau sekali lagi satuan komoditi) untuk mengoperasikan kapitalisme; namun sejak keputusan Nixon untuk “menutup jendela emas” pada 15 Agustus 1971, emas telah hanya memainkan peran pinggiran dalam pengelolaan transaksi nasional atau internasional. 37 tahun terakhir ini kita telah melihat krisis di dalam kapitalisme tanpa, bagaimanapun, krisis kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme dapat bertahan tanpa “salib emas” kelas pekerja. Apa yang mungkin tampak menjadi penting yakni, apakah akhir dari emas sebagai komoditas penunjang uang merupakan ujian eksperimental negatif yang penting terhadap marxisme?”[21]

Setidaknya pertanyaan itu sudah cukup problematik dan menimbulkan kebingungan untuk analisis teori Marx tentang peristiwa ekonomi pasca-1971, walau banyak juga marxis yang tidak tahu-menahu dan bahkan memutuskan untuk menerabas/bersikap bodo amatan dengan pergeseran kondisi mendasar dari keberadaan masyarakat kapitalis sampai hari ini. Namun siapa bilang emas sudah bukan lagi uang komoditas? Mari kita mengambil analogi dari sejarah Cina di abad-13:

“Penerbit uang kertas Cina yang paling terkenal adalah Kublai Khan, orang Mongol yang berkuasa memerintah Cina di abad ke-13. Kublai Khan membangun kredibilitas mata uang versinya dengan mendekritkan bahwa uang kertasnya harus diterima oleh para pedagang mau/tidak mau. Sebagai penegakan lebih lanjut dari mandatnya itu, ia pun menyita semua emas dan perak, bahkan jika itu dibawa oleh pedagang asing…”[22]

Apakah penggunaan paksa uang kertas yang tidak dapat ditukarkan di Tiongkok saat itu menggantikan emas sebagai komoditas uang? Tentu saja tidak. Jika argumentasi Caffentzis dalam makalahnya bicara bahwa karena semua negara telah menendang uang komoditas sebagai standar harga, entah bagaimana ini juga membuat emas tidak lagi menjadi uang komoditas. Tidak ada yang terjadi dengan emas sementara waktu ini, setidaknya sampai tulisan ini terbit. Satu-satunya perubahan adalah apa yang dinyatakan oleh negara sebagai mata uang di wilayah mereka masing-masing.

Mari saya nyatakan lagi dengan variasi kata yang berbeda, argumen bahwa emas bukan lagi menjadi standar/patokan uang berarti seharusnya memberikan keterangan pada mata kita bahwa negara lah yang menentukan apa itu uang. Tentu saja apa yang dilakukan negara dengan langkahnya yang seperti itu hanya menunjukkan bahwa negara tengah mengambil alih modal dan mengkonversinya menjadi modal nasional menggunakan “dekrit uang non-komoditasnya”. George Caffentzis berpendapat bahwa teori Marx harus ‘diperluas’, dalam hal ini ia berbicara untuk memasukkan kemungkinan analisis dari uang non-komoditas dalam masyarakat kapitalis kekinian. Namun saya tidak melihat dia menjelaskan mengapa ini harus dilakukan.

Uang kertas sudah menjadi umum di zaman Marx seperti halnya uang kredit. Dimana Marx menyebut dua bentuk uang ini sebagai bentuk yang lebih tinggi daripada uang komoditas, yakni, uang yang mewakili tingkat pengembangan kekuatan produktif yang lebih tinggi. Karena Marx sudah terbiasa dengan kedua bentuk uang tersebut dan menganggap bahwa mereka mewakili bentuk uang yang lebih tinggi daripada emas, maka satu-satunya pertanyaan yang bisa dilontarkan pada Caffentzis dari bacaan sesuai konteks tersebut adalah mengapa ia masih bersikeras uang harus menjadi komoditas? Yap, itulah pertanyaan yang perlu dijawab oleh Caffentzis, bahkan seharusnya ini dijawab sebelum ia akan mulai melakukan pemanasan untuk menjelaskan uang fiat yang tidak berharga itu.

Kebodohan akademisi marxis sampah yang satu ini dan yang lainnya, mereka bisa-bisanya berfikir bahwa uang harus ditentukan secara material oleh apa yang negara tetapkan sebagai mata uang, dimana digiliran selanjutnya mereka melewatkan sesuatu bahwa, dalam analisis terakhir, tentu saja basis material yang berfungsi mengoperasikan uang ditentukan pada dasarnya oleh masyarakat, bukan negara. Jadi pertanyaan sebenarnya adalah mengapa masyarakat itu sendiri menghilangkan emas dari peredarannya sebagai patokan/standar uang? Amerika Serikat dengan mata uang dollar mereka, yang pada awalnya ditunjuk sebagai cadangan dasar untuk pertukaran uang dengan emas demi stabilisasi ekonomi pasca perang dunia ke-2 harus dipaksa meninggalkan standar emas pada tahun 1971 oleh seluruh dunia. Nixon tidak lagi punya pilihan selain menutup jendela pertukaran uang dengan emas karena dia sendiri tidak bisa memenuhi permintaan tebusan emas dari mitra dagang AS saat itu: Prancis dan Jerman Barat.

Pendekatan terhadap Peran Emas dalam Teori Marx

Walau begitu saya menyukai tulisan Caffentzis karena ia telah melakukan satu hal yang saya temukan sangat menarik, seperti yang saya bilang diatas: Caffentzis menempatkan teori tenaga kerja Marx dalam posisi sulit membela diri atau runtuh. Karena dengan membenturkan sebuah teori ke dinding dimana serangan langsung mengarah pada bagian vitalnya, sebuah teori dipaksa mempercepat kemampuan adaptifnya. Pada tahun 1971, Nixon menyatakan Marx adalah omong kosong, seluruh gagasannya tentang nilai adalah sampah.

Tidak ada alternatif: baik bahwa sedari awal Marx telah salah, atau kondisinya kini telah benar-benar berubah secara fundamental sejak tahun 1971, dimana itu harus dipertimbangkan dalam pembaharuan teori Marx itu sendiri. Karena hubungan emas dan uang sebagai satu kesatuan uang komoditi adalah pertahanan yang sangat penting untuk teori tenaga kerja Marx. Semoga saya memiliki kesempatan untuk mengatakan lebih jauh bahwa peran emas dalam memfungsikan uang ini adalah prasyarat yang diperlukan untuk semua pekerjaan empiris Marxis. Saya tidak akan mempercayai begitu saja penelitian empiris Marxis di mana emas tidak lagi digunakan sebagai ukuran nilai. Posisi saya pun tidak untuk memperkuat penggunaan uang fiat sebagai acuan nilai yang dikeluarkan oleh negara fasis.

Catatan Kaki:

[1] Keynes, J.M. (1920). Economic Consequences of the Peace. Keynes menghubungkan ide ini dengan Lenin, dan diskusi ini dapat ditemukan dalam White, M. & Schuler, K. (2009). “Who said ‘Debauch the Currency’: Keynes or Lenin?” Journal of Economic Perspectives edisi 23

[2] Toffler, A. & Toffler, H. (1993) dari Sheehan, M. – “The Changing Character of War”,  dalam Baylis, J., Smith, S., & Owens, P. (2011).

[3] Lyotard, J.-F (1993). Libidinal Economy.

[4] Sapa-AFP (2010, Oct 23) “Currency wars echo the 1930s” Sunday Times. Diperoleh dari http://www.timeslive.co.za/business/2010/10/23/currency-wars-echo-the-1930s

[5] Durden, T. (2013, Feb 17). “There Is A Winner In The Currency War.” Zero Hedge. Diperoleh dari http://www.zerohedge.com/news/2013-02-17/there-winner-currency-war

[6] Phoenix Capital Research. (2013, Jan 29). “China Just Threatened a Currency War if the Fed Doesn’t Stop Printing.” Zero Hedge. Diperolah dari http://www.zerohedge.com/contributed/2013-01-29/china-just-threatened-currency-war-if-fed-doesnt-stop-printing

[7] For a more detailed explanation, see Fels, J. (2013, Feb 7). “Lessons From The 1930s Currency Wars.” Zero Hedge. Diperoleh dari http://www.zerohedge.com/news/2013-02-07/lessons-1930s-currency-wars

[8] Marc to Market. (2013, Jan 23). “Currency Wars: Causes and Consequences.” Zero Hedge. Diperolah dari http://www.zerohedge.com/contributed/2013-01-23/currency-wars-causes-and-consequences

[9] Friedman, T. (2005). The World Is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century. New York: Farrar, Strauss, & Giroux.

[10] Untuk daftar kutipan yang terdokumentasi dengan baik mengenai topik ini dari para ekonom dan politisi berpengaruh, lihat Washington, G. (2013, Feb 8). “Currency Wars Often Lead to Trade Wars…Which In Turn Can Devolve Into Hot Wars.” Zero Hedge. Diperoleh dari http://www.zerohedge.com/contributed/2013-02-08/currency-wars-often-lead-trade-wars-which-turn-can-devolve-hot-wars

[11] KitcoNews. (2013, Feb 26). James Rickards (Currency Wars: The Making of the Next Global Crisis): No Way Fed Will Stop Easing. Saya peroleh dari link youtuber berikut ini: http://youtu.be/UeCqzwNnqyk

[12] Pelonggaran kuantitatif dapat digunakan untuk membantu menjamin bahwa inflasi tidak sampai berada di bawah target. Risikonya adalah kebijakan melawan deflasi lebih efektif daripada yang diperkirakan (berujung pada inflasi yang lebih tinggi dalam jangka panjang akibat meningkatnya persediaan uang), atau tidak cukup efektif jika bank tidak meminjamkan cadangan tambahannya. Menurut IMF dan sejumlah ekonom, pelonggaran kuantitatif yang dilakukan sejak krisis ekonomi global berhasil mencegah dampak-dampak buruknya.

Mengenai hal ini saya peroleh dan bisa dilihat dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Pelonggaran_kuantitatif

[13] KitcoNews. (2013, Feb 26). James Rickards (Currency Wars: The Making of the Next Global Crisis): No Way Fed Will Stop Easing. Di menit 11:32 sampai dengan 12:00. Saya peroleh dari link youtuber berikut ini: http://youtu.be/UeCqzwNnqyk

[14] KitcoNews. (2013, Feb 26). James Rickards (Currency Wars: The Making of the Next Global Crisis): No Way Fed Will Stop Easing. Di menit 12:45 sampai dengan 13:58. Saya peroleh dari link youtuber berikut ini: http://youtu.be/UeCqzwNnqyk

[15] KitcoNews. (2013, Feb 26). James Rickards (Currency Wars: The Making of the Next Global Crisis): No Way Fed Will Stop Easing. Saya peroleh dari link youtuber berikut ini: http://youtu.be/UeCqzwNnqyk

[16] Durden, T. (2013, Feb 19). “South Korea Starts Currency War Rumblings; Has Japan in Its Sights.” Zero Hedge. Diperoleh dari: http://www.zerohedge.com/news/2013-02-19/south-korea-starts-currency-war-rumblings-has-japan-its-sights

[17] Marc to Market. (2013, Jan 23). “Currency Wars: Causes and Consequences.” Zero Hedge. Diperoleh dari: http://www.zerohedge.com/contributed/2013-01-23/currency-wars-causes-and-consequences

[18] Mengutip Chomsky, N (1999), dalam karya Sheehan, M. – The Changing Character of War.

[19] Mabee, B. (2009), dikutip dalam karya Sheehan, M – The Changing Character of War.

[20] Ada di dalam karya Sheehan, M. – The Changing Character of War. Hlm. 235.

[21] Saya melewatkan analisis mendalam mengenai perjanjian Bretton Woods dalam tulisan ini untuk dibahas di lain kesempatan, maka sebagai gantinya saya membawa pengertian dari wikipedia untuk secara singkat menjelaskan mengenai perjanjian Bretton Woods, berikut adalah tautan yang dapat diakses: https://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_Bretton_Woods

[22] Poin poin mengenai implikasi perjanjian Bretton Woods dapat dilihat di situs kumparan, berikut tautannya: https://kumparan.com/fora-gultom/bretton-woods-petrodolar-dan-melelehnya-dolar-1-1553138631585227396

[23] Tulisan Caffentzis yang dikutip dalam tulisan ini dapat dilihat melalui tautan berikut: http://www.rebelnet.gr/articles/view/marxism-after-the-death-of-gold/original

[24] Mengenai Cina, Kublai Khan dan mata uang kertasnya ini dapat dilihat melalui tautan berikut: http://www.computersmiths.com/chineseinvention/papermoney.htm

Leave a comment